Wednesday, January 30, 2008

Glasgow Coma Scale

Salah satu penyebab kematian dan kecacatan pada kelompok usia produktif adalah cedera kepala, yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Tatalaksana keadaan ini harus dilakukan sesegera mungkin, seketika sejak pasien ditemukan. Penilaian dan tatalaksana ABC dan transportasi korban, contohnya, dapat mengurangi komplikasi yang terjadi akibat cedera kepala tersebut, walaupun kerusakan primer akibat kecelakaan tidak dapat diperbaiki lagi. Penentuan berat ringannya cedera kepala yang dialami juga seharusnya dilakukan dengan segera, sehingga pihak rumah sakit dapat mempersiapkan diri dalam menerima korban, dan selanjutnya ketika korban sampai di rumah sakit akan mendapat tatalaksana yang adekuat.
Glasgow Coma Scale (GCS) dapat dipakai untuk mengklasifikasi cedera kepala, yang snagat berguna untuk tatalaksana lanjut, menjawab pertanyaan apakah pasien harus dirawat, bahkan sampai penentuan prognosis.
Dari sebuah sumber, sebenarnya cedera kepala dapat diklasifikasikan lewat beberapa cara, namun yang saya akan bahas di sini, adalah GCS sebagai penentu keparahan cedera kepala.

Cedera kepala digolongkan sebagai:
- Ringan jika : GCS berkisar antara 14-15
- Sedang jika : GCS berkisar antara 9-13
- Berat jika : GCS berkisar antara 3-8

Glasgow Coma Scale
GCS bernilai maksimum 15, dan paling sedikit bernilai 3 (kondisi ini disebut koma, jadi definisi koma adalah suatu kondisi yang terjadi pada seorang individu jika tidak ada reaksi pada mata, gerakan, dan suara setelah rangsang nyeri yang adekuat diberikan pada individu tersebut). Jadi jangan sekali-kali menulis GCS = 0, ya he he he. Komponen dari GCS ada 3, yaitu E, M, dan V. Hasil dari penilaian ketiga komponen tadi ditambahkan sehingga menghasilkan nilai GCS.

GCS = nilai E + nilai M + nilai V


berikut cara menilainya,

Buka Mata (Eye, E)
4 = spontan
3 = dengan perintah
2 = dengan rangsang nyeri
1 = tidak ada reaksi

Respons motorik terbaik (Motoric, M)
6 = mengikuti perintah
5 = melokalisir nyeri
4 = menghindar nyeri
3 = fleksi abnormal
2 = ekstensi abnormal
1 = tidak ada gerakan

Respons verbal terbaik (Verbal, V)
5 = orientasi baik dan sesuai
4 = diorientasi tempat dan waktu
3 = bicara kacau
2 = mengerang
1 = tidak ada suara

Sebuah sumber menyebutkan

90% less than or equal to 8 are in coma
Greater than or equal to 9 not in coma
8 is the critical score
Less than or equal to 8 at 6 hours - 50% die
9-11 = moderate severity
Greater than or equal to 12 = minor injury


GCS dan Prognosis
GCS pada waktu pasien masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar.
Skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetative,
skor GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetative hanya 5-10%.

Yang rencananya akan dibahas juga di dalam judul ini:
-Sejarah GCS
-GCS pada bayi dan anak
-Link menuju latihan menilai GCS
-Ada saran? Silakan komentarnya :)

Kepustakaan
Mansyur, A (et al). Cedera Kepala. Dalam:Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Media Aesculapius FKUI. Jakarta: 2004.
Centre for Neuro Skills. Assessment Scales Glasgow Coma Scale. http://www.neuroskills.com/glasgow.shtml

Tuesday, January 22, 2008

Infertilitas

Preface

Fertilitas adalah kemampuan seorang istri menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya. Jadi, fertilitas adalah fungsi satu pasangan yang sanggup menjadikan kehamilan dan kelahiran anak yang hidup.
Disebut infertilitas primer jika istri belum pernah hamil walau pun bersenggama secara teratur (2-3 kali per minggu) dan dihadapkan kepada kemungkinan hamil (tidak memakai metode pencegahan) selama 12 bulan. Disebut infertilitas sekunder kalau istri pernah hamil akan tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walau pun bersenggama secara teratur dan dihadapkan pada kemungkinan hamil selama 12 bulan. Seperti misalnya suatu pasangan yang sudah memiliki anak, kemudian memakai kontrasepsi, namun setelah kontrasepsi tersebut dilepas selama lebih dari satu tahun belum juga hamil.

Waktu median yang diperlukan untuk menghasilkan kehamilan adalah 2,3 bulan sampai 2,8 bulan. Makin lama pasangan itu kawin tanpa kehamilan, maka makin turun kejadiannya. Oleh karena itu, kebanyakan dokter baru menganggap ada masalah infertilitas kalau pasangan yang ingin punya anak itu telah dihadapkan pada kemungkinan kehamilan lebih dari 12 bulan.

Etiology

Dilihat dari suami, faktor yang berperan menyebabkan infertilitas suatu pasangan sebesar 25-40%, factor dari istri sebesar 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik sebanyak 10%. Pada tahun 1970-an, Steinbenger & Steinbenger dan Sherins mengemukakan pada pasangan infertil, masing-masing anggota pasangan mungkinakan menjadi fertil bila berpasangan dengan orang lain. Pada kenyataannya dapat kita lihat, kalau pasangan infertile bercerai, masing-masing kawin lagi, kemudian masing-masing dari mereka mendapatkan keturunan. Jadi, setiap anggota pasangan infertil mempunyai potensi fertilitas tertentu, jumlah keduanya menentukan kapasitas pasangan itu untuk mendapat keturunan. Dengan demikian, perbaikan potensi fertilitas dari salah satu anggota pasangan dapat menghasilkan kehamilan.

Jadi, seandainya seorang suami dengan potensi S menikah dengan seorang istri dengan potensi fertilitas I, maka kapasitas potensi fertilitas pasangan tersebut adalah (S+I). Seandainya nilai ambang pasangan untuk menjadi hamil adalah F, maka jika kapastas fertilitas pasangan (S+I) lebih kecil daripada nilai ambang kehamilan (F), maka pasangan itu akan mengalami infertilitas. Jika (S+I) lebih besar daripada F, maka pasangan tersebut akan mengalami kehamilan. Pengobatan salah satu anggota pasangan infertile pada hakikatnya meningkatkan potensi fertilitas anggota pasangan infertil tersebut, sehingga potensi fertilitas pasangan dengan sendirinya akan dapat ditingkatkan.

Pemeriksaan Pasangan Infertil

Setiap pasangan infertile harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Ada pun syarat-syarat pemeriksaan infertilitas:

1. Istri yang berumur antara 20 hingga 30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapatkan anak selama 12 bulan.

2. Istri yang berumur antara 30 hingga 35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan itu dating ke dokter.

3. Istri pasangan infertilitas yang berumur antara 35 hingga 40 tahun hanya diperiksa infertilitasnya apabila belum mendapat anak dari pernikahan ini.

4. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertile yang salah satu anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan istri atau anaknya.

Terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam menangani masalah-masalah infertilitas, di antaranya adalah:

1. Masalah air mani
Pada pemeriksaan air mani, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari karakteristiknya, yaitu:

- Warna, biasanya berwarna putih keruh
- Bau yang khas (akasia)
- pH, yang normal berkisar 7,2-7,8
- Volume, sekitar 2-5 mL
- Viskositas, yaitu antara 1,6-6 centipose
- Jumlah sperma, kira-kira 20 juta/mL
- Sperma motil, lebih dari 50%
- Bentuk normal, lebih dari 60%
- Kecepatan gerak (velositas) sperma antara 0,8-1,2 detik
- Persentase gerak sperma motil lebih dari 60%
- Aglutinasi tidak ditemukan
- Sel-sel selain sperma tidak ada atau sedikit sekali
- Uji fruktosa yang positif

2. Masalah vagina
Kemampuan vagina menyampaikan air mani ke dalam sekitar serviks perlu untuk fertilitas. Masalah vagina yang dapat menghambat penyampaian ini adalah sumbatan atau peradangan. Sumbatan bisa psikogenik atau karena kelainan anatomik. Vaginitis dapat menjadi masalah bukan karena efek spermisidalnya, namun karena efek antisenggamanya.

3. Masalah serviks
Infertilitas yang berhubungan dengan factor serviks dapat disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis, lender serviks yang abnormal, malposisi serviks, atau kombinasinya. Selain itu juga terdapat berbagai kelainan anatmi yang berperan pada timbulnya infertilitas. Untuk masalah serviks, terdapat beberapa uji, yaitu uji pasca senggama (mengetahui ada/tidaknya sperma yang melewati seviks, dilakukan 6 jam pasca senggama), uji gelas obyek, serta uji kontak air mani dengan lender serviks.

4. Masalah uterus
Kontraksi vagina dan uterus memegang peranan penting dalam transportasi spermatozoa ke dalam tuba. Pasa manusia, oksitosin tidak berpengaruh terhadap uterus yang tidak hamil, akan tetapi prostaglandin dalam air mani dapat membuat uterus berkontraksi secara ritmik. Ternyata, prostaglandin-lah yang memegang peranan penting dalam transportasi spermatozoa ke dalam uterus dan melewati penyempitan pada batas uterus dan tuba itu. Selain itu, uterus menjadi sangat sensitif terhadap prostaglandin pada akhir masa proliferasi dan permulaan fase sekresi. Masalah lain yang dapat mengganggu transportasi spermatozoa melalui uterus adalah distorsi kavum uteri karena sinekia, mioma, atau polip, peradangan endometrium, dan gangguan kontraksi uterus. Dalam menilai ada tidaknya masalah pada uterus, dapat dilakukan berbagai pemeriksaan seperti biopsi endometrium (mengetahui pengaruh progesterone terhadap endometrium dan sebaiknya dilakukan pada 2-3 hari sebelum haid (siklus 28 hari). Kontra indikasi: hamil, infeksi pelvic, atau servisitis), histerosalpingografi, serta histeroskopi.

5. Masalah tuba
Faktor tuba merupakan salah satu faktor yang paling sering ditemukan dalam infertilitas. Penilaian patensi tuba dianggap sebagai salah satu pemeriksaan terpenting. Terdapat beberapa cara pemeriksaan, seperti pertubasi, histerisalpingografi, serta laparoskopi.

6. Masalah ovarium
Deteksi ovulasi merupakan bagian integral pemeriksaan infertilitas karena kehamilan tidak mungkin terjadi tanpa ovulasi. Ovulasi yang jarang terjadi pun dapat menyebabkan infertilitas. Terdapat beberapa pemeriksaan seperti perubahan lender serviks, pencatatan suhu basal tubuh, sitologi vagina (pemeriksaan usap forniks lateral vagina untuk mengetahui perubahan epitel vagina akibat hormone). Serta biopsi endometrium

Penanganan Infertilitas

Penanganan infertilitas tentunya bergantung pada penyebabnya. Apabila terdapat air mani abnormal, maka dicari penyebabnya apakag akibat dari varikokel, sumbatan, infeksi, defisiensi gonadotropin, atau hiperprolaktinemia. Kalau infertilitas ternyata ada hubungannya dengan tuba yang tersumbat, maka pengobatan saja sangat sedikit membawa hasil. Istri dengan riwayat infeksi panggul yang berulang dapat dicoba dengan pemberian antibiotik jangka panjang. Endometriosis pada tuba dapat diobati dengan pil KB, progesterone, atau danazol yang diberikan terus menerus atau berselang-seling. Dalam hal memutuskan pembedahan, pasangan yang bersngkutan harus memikirkan terlebih dahulu keberhasilannya serta bagaimana reaksi mereka bila gagal sama sekali. Indikasi pembedahan tuba adalah tersumbatnya seluruh atau sebagian tuba, tekukan tuba yang patologis, sakulasi tuba, perlekatan pertubular dan periovarial khususnya untuk membebaskan gerakan tuba dan ovarium. Pembedahan tuba tidak dilakukan kalau analisis sperma suaminya bnormal, serta adanya penyakit pada istri yang tidak membolehkannya untuk hamil.

Pada pasien dengan endometriosis terdapat beberapa pilihan yaitu menunggu sampai kehamilan terjadi, pengobatan hormonal, atau pembedahan konservatif. Dengan cara pertama didapatkan angka keberhasilan sampai 65%. Tentu saja umur pasen serta lamanya infertilitas harus menjadi pertimbangan dengan cara ini. Sementara cara kedua memerlukan waktu lama san tidak selalu menyembuhkan endometriosis, kebanyakan hanya menekanuntuk beberapa waktu saja. Oleh karena itu pada pasien yang sudah lama infertilitasnya dianjurkan untuk melakukan pembedahan konservatif.

Kepustakaan
Sumapraja, S. Infertilitas. Dalam:Ilmu Kandungan. YBP-SP. Jakarta: 1999.
Mansyur, A (et al). Infertilitas. Dalam:Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI. Jakarta: 2004.

Wednesday, January 16, 2008

Kehamilan Ektopik Terganggu / Ectopic Pregnancy

Definisi / Definition

Kehamilan ektopik (ectopic pregnancy) merupakan kehamilan yang terjadi dimana telur yang telah dibuahi berimplantasi di luar endometrium kavum uteri. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang yang berimplantasi di ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, kornu terus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus.

Implantasi hasil konsepsi di tuba dapat terjadi di:
- tuba pars interstisial,
- pars ismika,
- pars ampularis, atau di
- infundibulum tuba.

Statistik / Statistic

Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang terjadi 0-14,6%.

Etiologi / Etiology

Etiologi yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik yaitu bila perjalanan menuju uterus telur yang sudah dibuahi di bagian ampula tuba mengalami hambatan, yang dapat diakibatkan oleh endosalpingitis, hipoplasi uteri, pasca operasi tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna, endometriosis tuba, divertikel tuba, perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba, tumor yang menekan dinding tuba, atau migrasi luar ovum.

Karena tuba bukan merupakan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sebagian besar kehamilan di tuba terganggu pada usia kehamilan 6-10 minggu. Hasil konsepsi dapat mati dini dan direabsorpsi. Abrtus dapat terjadi ke dalam lumen tuba, dimana terjadi perdarahan karena pembentukan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi sehingga melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Ruptur dinding tuba dapat pula terjadi karena terjadi penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba hingga ke peritoneum atau karena trauma ringan seperti saat koitus dan pemeriksaan vagina. Hal itulah yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu (KET).

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik / Clinical Manifestation

Gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu dapat tidak memberikan gejala yang jelas sampai berupa perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut yang menyebabkan syok hipovolemik. Nyeri merupakan keluhan utama pada KET. Nyeri bermula pada satu sisi. Setelah darah menyebar ke rongga perut, nyeri menyebar ke tengah atau seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut merangsang diafragma sehingga menyebabkan nyeri bahu, dan bila membentuk hematokel retrouterin akan menyebabkan nyeri saat defekasi.

Gangguan yang terjadi dapat terjadi perlahan atau secara tiba-tiba (syok). Pada keadaan yang akut, mendadak pasien akan mengeluh nyeri hebat dan kondisi langsung jatuh ke dalam syok akibat perdarahan masif. Jika gangguan terjadi secara perlahan, keluhan rasa nyeri yang bersifat hilang timbul. Manfestasi yang perlahan ini dihubungkan dengan terjadinya abortus tuba yang terjadi sedikit demi sedikit.
Diagnosis dapat mudah ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien muncul dengan gejala subyektif kehamilan muda, nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan per vaginam. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak kesakitan, pucat, perut terasa nyeri saat diraba, dan dapat pula ditemukan tanda-tanda syok.

Pada pemeriksaan dalam, usaha untuk menggerakkan serviks akan menimbulkan nyeri, demikian pula pada kavum douglasi akan terasa nyeri dan terasa menonjol saat dilakukan perabaan jika sudah terjadi hematokel retrouterin.

Penunjang / Laboratory Workup

Pemeriksaan hemoglobin dan eritrosit yang berkurang menunjukkan adanya perdarahan yang terjadi pada KET. Dapat terjadi leukositosis. Tes kehamilan biasanya positif, walau hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan KET karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas dapat menyebabkan produksi beta hCG menurun sehingga menyebabkan tes kehamilan menjadi negatif.

Alat bantu diagnosis yang dapat digunakan pada KET antara lain: kuldoskopi, USG, dan laparoskopi.

Diagnosis Diferensial / Differential Diagnosis

Abortus iminens, abortus insipien, dan infeksi pelvik dapat dipikirkan sebagai diagnosis diferensial KET. Pada abortus iminens atau insipiens, perdarahan yang terjadi biasanya lebih banyak dan lebih merah, dan pada perabaan serviks biasanya tidak nyeri. Sedangkan pada infeksi pelvik, nyeri biasanya timbul saat haid, jarang mengalami amenore, terjadi peningkatan leukosit yang bermakna, dan tes kehamilan yang negatif.

Diagnosis diferensial lain yang dapat dipikirkan adalah ruptur korpus luteum, torsi kista ovarium, dan apendisitis. Pada ruptur korpus luteum, biasanya terjadi pada pertengahan siklus haid, tidak dijumpai perdarahan per vaginam, dan tes kehamilan negatif. Pada torsi kista ovarium dan apendisitis tidak terdapat gejala kehamilan muda, amenore, maupun perdarahan per vaginam. Tumor yang ditemukan pada perabaan terasa lebih besar pada tumor ovarium, sedangkan pada apendisits tidak didapati tumor. Nyeri pada apendisits biasanya terdapat pada titik McBurney.

Penatalaksanaan / Treatment

Tatalaksana KET pada umumnya laparotomi dengan mempertimbangkan kondisi pasien, fungsi reproduksi, lokasi KET, kondisi anatomi rongga pelvis, dan fasilitas yang ada. Apabila kondisi pasien buruk atau syok, dapat dilakukan salpingektomi. Jika fungsi reroduksi ingin dipertahankan biasanya hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. KET dapat juga ditatalaksana dengan melakukan laparoskopi, fimbrial evacuaton, dan partial salpingectomy.

Pada kasus kehamilan ektopik di tuba pars ampularis yang belum terganggu (pecah) dapat menggunakan kemoterapi dengan syarat: kehamilan di tuba pars ampularis belum pecah, diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan 4 cm pada pemeriksaan USG, perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 mL, tanda vital dalam kondisi stabil. Obat yang digunakan adalah Metrotrexat 1 mg/kg BB IV dan Citovorum Factor 0,1 mg/kg BB, berselang-seling selama 8 hari.

Kepustakaan / Reference
Braun DR. Surgical management of ectopic pregnancy. http://www.emedicine.com/med/topic3316.htm
Rachimhadhi T. Kehamilan etopik. Dalam: Winknyosastro H (ed) Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 1999.
Sepilian V. Ectopic pregnancy. Http://www.emedicine.com/med/topic3212.htm

CEGAH TBC XDR DENGAN MASKER

jurnal kedokteran Lancet oktober 2007 lalu melaporkan hasil penelitian yang dilakukan dr. Sanjay Basu dari Yale University di daerah Afrika Selatan. isi penelitian tersebut mengungkapkan bahwa infeksi baru TBC XDR (TBC Extensively Drug Resistant, dimana infeksinya sangat sulit diatasi karena telah resisten pada berbagai antibiotik dan pasiennya cenderung tidak dapat disembuhkan) dapat dikurangi hingga 30% dengan cara sederhana seperti membuka jendela rumah sakit dan menggunakan masker wajah. cara tersebut dibarengi dengan perbaikan ventilasi ruangan, tes resistensi obat, terapi HIV, serta perbaikan fasilitas isolasi tuberkulosis dapat mencegah 48% kasus TBC XDR hingga tahun 2012.
TBC XDR dilaporkan telah ada di 37 negara dengan Afrika Selatan sebagai pemegang kasus terbesar. angka mortalitasnya sangat tinggi, yaitu 98% dengan median survival rate-nya cuma 16 hari dihitung sejak pengambilan sputum! ironisnya, lebih dari setengah kasus justru ditemukan di rumah sakit. penggunaan masker wajah sendiri hanya akan mengurangi penambahan kasus baru, namun dipastikan dapat melindungi petugas rumah sakit.
(dari Majalah FARMACIA)

Tuesday, January 15, 2008

TIPE DIABETES MELITUS

Diabetes melitus (DM) merupakan sindrom metabolik dengan gejala klinis hiperglikemia (kenaikan kadar gula darah).
Penyebabnya adalah interaksi antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hiperglikemia antara lain:

- Penurunan sekresi insulin.
- Penurunan penggunaan glukosa darah.
- Peningkatan produksi glukosa darah.

Penyakit DM ditakuti karena dapat menyebabkan kerusakan berbagai organ, seperti ginjal, ekstremitas, mata, jantung, dan pembuluh darah.

Secara garis besar, DM terbagi menjadi tiga menurut perkumpulan endokrinologi indonesia, PERKENI:

1. DM tipe 1 yang terjadi akibat penurunan sekresi insulin. DM tipe ini terbagi menjadi 1A dan 1B. DM tipe 1A terjadi akibat proses autoimun yang merusak sel beta pankreas, sedangkan tipe 1B penyebabnya idiopatik. DM tipe 1 sangat jarang di Indonesia, paling banyak di Eropa. ada teori lama yang menyatakan bahwa semakin dekat ke katulistiwa, DM tipe 1 akan makin jarang ditemukan.

2. DM tipe 2 yang terjadi akibat sekumpulan patofisiologi yang beragam berupa resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, serta peningkatan produksi glukosa.

3. DM tipa 3 yang terjadi akibat mekanisme lain seperti kelainan kerja insulin, gangguan eksokrin pankreas, kelainan endokrin sistemik, obat-obatan, infeksi, serta sindrom genetik lainnya (termasuk di dalamnya DM akibat kehamilan)

Diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah plasma sewaktu (GDS) yang meningkat sama dengan atau lebih dari 200 mg/dL atau glukosa darah puasa (GDP) di atas 126 mg/dL atau glukosa 2 jam post prandial (GDPP) sama dengan atau di atas 200 mg/dL.

Tatalaksana DM tipe 1 lebih ditekankan pada penggunaan insulin untuk bertahan hidup, sedangkan pada DM tipe 2 dengan perubahan gaya hidup dan mencegah komplikasinya.
(dari Majalah FARMACIA)

Saturday, January 12, 2008

PENATALAKSANAAN REAKSI ANAFILAKTIK PADA ANAK DAN DEWASA

- Hentikan pemberian obat penyebab reaksi anafilaktik
- Baringkan pasien dengan tungkai lebih tinggi dari kepala
- Pemberian oksigen, pertahankan jalan napas yang lancer dan pernapasan yang adekuat
- Bila terdapat wheezing dapat diberikan nebulasi adrenalin (5 ml dalam larutan 1:1000) atau dilakukan intubasi/surgical airway bila terdapat sumbatan napas
- Suntikkan adrenalin 1:1000 (1 mg/ml) secara IM, dosis 0,01 mg/kg BB, pada dewasa 0,3-0,5 ml
Dosis dapat diulang setelah 5 menit
- Pasang infuse dan pertahankan volume darah dengan SPPS atau kristaloid
- Adrenalin IV diberikan bila tidak ada respons terhadap adrenalin IM atau terjadi kegagalan sirkulasi dan syok
Dosis 0,1 mg/kg BB larutan adrenalin 1:10 000 yang diberikan perlahan selama 10 menit
Atau
0,01 ml/kg BB larutan adrenalin 1:1000 diencerkan dalam 10 ml garam faali dan diberikan selama 10 menit
Pada dewasa, 5 ml adrenalin 1:10 000 yang diberikan selama 10 menit
Atau
Pada dewasa, 0,5 ml adrenalin 1:1000 diencerkan dalam 10 ml larutan garam faali dan diberikan selama 10 menit
- Bebaskan jalan napas (kalau perlu buat jalan napas melalui mulut atau intubasi endotrakea
- Bila perlu berikan bantuan ventilasi (dengan ambu bag dan masker atau endotrakeal tube

Pengobatan tambahan
- Berikan kortikosteroid IV
Misalnya hidrokortison 2-6 mg/kg BB atau deksamethason 2-6 mg/kg BB
- Berikan antihistamin IV
Misalnya prometazin 0,5-1 mg/kg BB atau difenhidramin 0,5-1 mg/kg BB
- Bila terjadi bronkospasme, berikan bronkodilator aerosol (salbutamol, terbutalin, fenoterol)
Atau semprotkan bronkodilator melalui masker
Dan/atau berikan aminofilin IV 6 mg/kg BB selama 10 menit diikuti dengan infuse 1 mg/kg BB/jam atau salbutamol drip initial 4-6 mg/kg IV, selanjutnya 0,5-1 mg/kg BB/menit
- Bila masih terdapat syok, resusitasi cairan dilakukan pemberian koloid (max 20 ml/kg BB/hari, dilanjutkan dengan obat inotropik)

Tindakan penunjang
- Pantau TV dengan intensif sedikitnya selama 4 jam
- Tenangkan pasien, istirahatkan dan hindarkan pemanasan

Tanda dan gejala anafilaktik

Tanda dini
- Rasa hangat, gatal, terutama pada daerah ketiak, dan pangkal paha
- Cemas atau panic

Tanda lanjut
- Kulit kemerahan dan urtikaria
- Udem pada muka, leher, jaringan lunak

Tanda parah
- Bronkospasme (disertai wheezing)
- Udem laring (dispnoe, stridor, afonia, lender di tenggorok)
- Hipotensi (syok)
- Aritmia, henti jantung

Catatan:
Setiap reaksi yang tidak diharapkan setelah pemberian obat atau zat diagnostic harus dicurigai sebagai reaksi anafilaktoid sebab keadaan sering cepat memburuk
Obat utama pada reaksi anafilaktoid adalah adrenalin. Kortikosteroid dan antihistamin efeknya timbul lebih lambat. Walau pun dapat mempersingkat reaksi anafilaktoid dan mencegah kekambuhannya, kedua obat ini tidak boleh digunakan sebagai pengganti adrenalin. Adrenalin harus diberikan bila dicurigai ada reaksi anafilaktik karena obat ini aman dan efektif.

Jarang diperlukan vasopresor lain. Gabungan adrenalin dan infuse IV hamper selalu dapat memperbaiki tekanan darah dan curah jantung
Berbagai obat dan larutan yang digunakan dalam mengatasi reaksi anafilaktik juga dapat menimbulkan reaksi yang sama. Ini harus diingat, khususnya dalam memberikan antihistamin dan kortikosteroid IV serta plasma expander seperti dekstran dan poligelin (Haemacell)

Antibiotic Choice

Infection: Acute bacterial endocarditis
Microorganism(s): Staph., Strep., enterococci
First choice: pen.G + clox,+ gentamicin
Next choice: vancomycine + gentamicin

Infection: Subacute bacterial endocarditis
Microorganism(s):Strep.viridans, enterococci
First choice: pen.G + gentamisin
Next choice: vancomycine + gentamicine

Infection: Cystitis
Microorganism(s): E.coli, proteus, staphylococci
First choice: cotrimoxazole, ampicillin
Next choice: nitrofurantoin, fluoroquinolone

Infection: Pyelonephritis
Microorganism(s): coliform bact.
First choice: cotrimoxazole, ampicillin
Next choice: fluoroquinolone

Infection: Gonorrhoea
Microorganism(s): N.gonorrhoeae
First choice: pen.G, ampicillin, ceftriaxone
Next choice: erithromycin, doxycycline, fluoroquinolone

Infection: Nonspecific Urethritis
Microorganism(s): Chlamydia
First choice: tetracyclinc/doxycycline
Next choice: erithromycin

Infection: Lymphogranuloma venereum.
Microorganism(s): Chlamydia
First choice: tetracycline/doxycycline
Next choice: sulfonamide, erithromycin

Infection: Infiltrate/furunculosis
Microorganism(s): Str.pyogenes, staphylococci
First choice: pen.G, erythromycin, (flu)cloxacillin
Next choice: spiramycin, clindamycin

Infection: Erysipelas
Microorganism(s): Str.pyogcnes
First choice: pen.G.
Next choice: erithromycin, clindamycin

Infection: Impetigo
Microorganism(s): Str.progenes, Staph. aureus
First choice: pen.G, pen.V.
Next choice: erithromycin, spiramycin, flucloxacillin

Infection: Mouth/Teeth infection
Microorganism(s): Aerob + anaerobic microorg.
First choice: pen V, pen G, erythro, macrolide
Next choice: + metronidazol (chronic infection)

Infection: Oral Candidiasis
Microorganism(s): Candida
First choice: mycostatin lozenges/suspension
Next choice: amphotericin lozenges

Infection: Acute Tonsillitis
Microorganism(s): Streptococcus
First choice: pen.G, pen.V, erythromycin
Next choice: spiramycin, clindamycin

Infection: Acute Pharyngitis
Microorganism(s): Virus (> 90%), Str.pyogenes
First choice: without antibiotic
Next choice: pen.V, pen.G, erithromycin (only when secondary infection is evident)

Infection: Common cold, flu
Microorganism(s): Virus
First choice: without antibiotic
Next choice: amoxycillin, erithromycin, doxycycline (only when secondary infection is evident)

Infection: Measles
Microorganism(s): Virus
First choice: without antibiotic
Next choice: amoxycillin, erithromycin, doxycycline (only when secondary infection is evident)

Infection: Chicken pox
Microorganism(s): Virus
First choice: without antibiotic-bath regularly
Next choice: amoxycillin, erithromycin, doxycycline (only when secondary infection is evident)

Infection: Parotitis epidemica
Microorganism(s): Virus
First choice: no antibiotic-chew on chewing gum is most effective
Next choice: -

Infection: Adult Pneumonia
Microorganism(s): Str.pneumoniae
First choice: pen.G, erythromycin
Next choice: chloramphenicol, clindamycin + aminoglyc

Infection: Child Pneumonia
Microorganism(s): H.influenzae
First choice: amoxycillin
Next choice: chloramphenicol, cotrimoxazole

Infection: Otitis media
Microorganism(s): H.influenzae. streptococci
First choice: ampicillin
Next choice: erithromycin, cotrimoxazole

Infection: Septicemia.
Microorganism(s): Anything possible
First choice: cephalosporin G3 (+ aminoglyc.)
Next choice: clindamycin + aminoglyc

Infection: Intra-abdominal septicemia
Microorganism(s): Coliform, Bacteroidcs
First choice: aminoglyc. + penicillin + metronid.
Next choice: clindamycin + cephalosporin G3

Infection: Tetanus
Microorganism(s): Cl.tetani
First choice: pen.G
Next choice: clindamycin, chloramphenicol + metronid

Infection: Gas gangrene
Microorganism(s): Cl.perfringens
First choice: pen.G
Next choice: clindamycin, chloramphenicol

Infection: Diphteria
Microorganism(s): C.diphteriae
First choice: pen.G
Next choice: erithromycin

Infection: Nonspecific Diarrhea
Microorganism(s): Virus, food, or bacteria (rare)
First choice: without antibiotic - bistmuth salt
Next choice: tetracycline (when bacterial [V.cholerae])

Infection: Typhoid fever
Microorganism(s): S.typhi, S.paratyphi
First choice: chloramphenicol, ampicillin
Next choice: cotrimoxazole, fluoroquinolone

Adapted from Katzung B, ed. Basic and Clinical Pharmacology, 4th ed., 1989:619-21, Gilman AG, Goodman LS, Rail TW, Murad F, cd.
The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8lh ed., 1990, 1024-33, and Antibiotic Guidelines, 6th ed 1990-91, Health Department of Victoria,
Australia.